1. Pendekatan Pengambilan Keputusan
Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh seorang aktor atau beberapa aktor berkenaan dengan suatu masalah. Tindakan para aktor kebijakan dapat berupa pengambilan keputusan yang biasanya bukan merupakan keputusan tunggal, artinya kebijakan diambil dengan cara mengambil beberapa keputusan yang saling terkait dengan masalah yang ada. Pengambilan keputusan dapat diartikan sebagai pemilihan alternatif terbaik dari beberapa pilihan alternatif yang tersedia. Ada beberapa teori yang paling sering digunakan dalam mengambil kebijakan yaitu :
1. Teori Rasional Komprehensif
Barangkali teori pengambilan keputusan yang biasa digunakan dan diterima oleh banyak kalangan aadalah teori rasional komprehensif yang mempunyai beberapa unsur:
a. Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu yang dapat dibedakan dari masalah-masalah lain atau setidaknya dinilai sebagai masalah-masalah yang dapat diperbandingkan satu sama lain (dapat diurutkan menurut prioritas masalah)
b. Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran yang menjadi pedoman pembuat keputusan sangat jelas dan dapat diurutkan prioritasnya/kepentingannya.
c. Bermacam-macam alternatif untuk memecahkan masalah diteliti secara saksama.
d. Asas biaya manfaat atau sebab-akibat digunakan untuk menentukan prioritas.
e. Setiap alternatif dan implikasi yang menyertainya dipakai untuk membandingkan dengan alternatif lain.
f. Pembuat keputusan akan memilih alternatif terbaik untuk mencapai tujuan, nilai, dan sasaran yang ditetapkan
Ada beberapa ahli antara lain Charles Lindblom , 1965 (Ahli Ekonomi dan Matematika) yang menyatakan bahwa pengambilan keputusan itu sebenarnya tidak berhadapan dengan masalah-masalah yang konkrit akan tetapi mereka seringkali mengambil keputusan yang kurang tepat terhadap akar permasalahan.
Teori rasional komprehensif ini menuntut hal-hal yang tidak rasional dalam diri pengambil keputusan. Asumsinya adalah seorang pengambil keputusan memiliki cukup informasi mengenahi berbagai alternatif sehingga mampu meramalkan secara tepat akibat-akibat dari pilihan alternatif yang ada, serta memperhitungkan asas biaya manfaatnya.dan mempertimbangkan banyak masalah yang saling berkaitan
Pengambil keputusan sering kali memiliki konflik kepentingan antara nilai-nilai sendiri dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat. Karena teori ini mengasumsikan bahwa fakta-2 dan nilai-nilai yang ada dapat dibedakan dengan mudah, akan tetapi kenyataannya sulit membedakan antara fakta dilapangan dengan nilai-nilai yang ada.
Ada beberapa masalah diperbagai negara berkembang seperti Indonesia untuk menerapkan teori rasional komprehensif ini karena beberapa alasan yaitu
- Informasi dan data statistik yang ada tidak lengkap sehingga tidak bisa dipakai untuk dasar pengambilan keputusan. Kalau dipaksakan maka akan terjadi sebuah keputusan yang kurang tepat.
- Teori ini diambil/diteliti dengan latar belakang berbeda dengan nagara berkembang ekologi budanyanya berbeda.
- Birokrasi dinegara berkembang tidak bisa mendukung unsur-unsur rasional dalam pengambilan keputusan, karena dalam birokrasi negara berkembang kebanyakan korup sehingga menciptakan hal-hal yang tidak rasional.
2. Teori Inkremental
Teori ini dalam mengambil keputusan dengan cara menghindari banyak masalah yang harus dipertimbangkan dan merupakan madel yang sering ditempuh oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam mengambail keputusan. Teori ini memiliki pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
· Pemilihan tujuan atau sasaran dan analisis tindakan empiris yang diperlukan untuk mencapanya merupakan hal yang saling terkait.
· Pembuat keputusan dianggap hanya mempertimbangkan beberapa alternatif yang langsung berhubungan dengan pokok masalah, dan alternatif-alternatif ini hanya dipandang berbeda secara inkremental atau marjinal
· Setiap alternatif hanya sebagian kecil saja yang dievaluasi mengenahi sebab dan akibatnya.
· Masalah yang dihadapi oleh pembuat keputusan di redifinisikan secara teratur dan memberikan kemungkinan untuk mempertimbangkan dan menyesuaikan tujuan dan sarana sehingga dampak dari masalah lebih dapat ditanggulangi.
· Tidak ada keputusan atau cara pemecahan masalah yang tepat bagi setiap masalah. Sehingga keputusan yang baik terletak pada berbagai analisis yang mendasari kesepakatan guna mengambil keputusan.
· Pembuatan keputusan inkremental ini sifatnya dalah memperbaiki atau melengkapi keputusan yang telah dibuat sebelumnya guna mendapatkan penyempurnaan.
Karena diambil berdasarkan berbagai analisis maka sangat tepat diterapkan bagi negara-negara yang memiliki struktur mejemuk. Keputusan dan kebijakan diambil dengan dasar saling percaya diantara berbagai pihak sehingga secara politis lebih aman. Kondisi yang realistik diberbagi negara bahwa dalam menagmbil keputusan/kebijakan para pengambil keputusan dihadapkan pada situasi kurang baik seperti kurang cukup waktu, kurang pengalaman, dan kurangnya sumber-sumber lain yang dipakai untuk analsis secara komprehensif.
Teori ini dapat dikatakan sebagai model pengambilan keputusan yang membuahkan hasil terbatas, praktis dan dapat diterima. Ada beberapa kelemahan dalam teori inkremental ini :
- keputusan–keputusan yang diambil akan lebih mewakili atau mencerminkan kepentingan dari kelompok yang kuat dan mapan sehingga kepentingan kelompok lemah terabaikan.
- Keputusan diambil lebih ditekankan kepada keputusan jangka pendek dan tidak memperhatikan berbagai macam kebijakan lain
- Dinegara berkembang teori ini tidak cocok karena perubahan yang inkremental tidak tepat karena negara berkembang lebih membutuhkan perubahan yang besar dan mendasar.
- Menutut Yehezkel Dror (1968) gaya inkremental dalam membuat keputusan cenderung mengahsilkan kelambanan dan terpeliharanya status quo
3. Teori Pengamatan Terpadu (Mixed Scaning Theory)
Beberapa kelemahan tersebut menjadi dasar konsep baru yaitu seperti yang dikemukakan oleh ahli sosiologi organisasi Aitai Etzioni yaitu pengamatan terpadu (Mixid Scaning) sebagai suatu pendektan untuk mengambil keputusan baik yang bersifat fundamental maupun inkremental. Keputusan-keputusan inkremental memberikan arahan dasar dan melapangkan jalan bagi keputusan-keputusan fundamental sesudah keputusan-keputusan itu tercapai.
Model pengamatan terpadu menurut Etzioni akan memungkinkan para pembuat keputusan menggunakan teori rasional komprehensif dan teori inkremental pada situasi yang berbeda-beda.
Model pengamatan terpadu ini pada hakikatnya merupakan pendekatan kompromi yang menggabungkan pemanfaatan model rasional komprehensif dan model inkremental dalam proses pengambilan keputusan.
2. Kreativitas
Keputusan yaitu pilihan yang dibuat dari dua atau banyak alternatif. Pengambilan keputusan terjadi sebagai suatu reaksi terhadap suatu masalah (Robbins, 1995).
Preoses pengambilan keputusan dimulai dengan suatu penilaian bahwa suatu permasalahan telah terjadi. Permasalahan yang muncul tersebut terkadang merupakan suatu kondisi negatif atau tidak menyenangkan yang membuat seseorang berkeinginan untuk menghilangkan kondisi tersebut. Selain itu, permasalahan juga dapat terjadi ketika seseorang menetapkan suatu tujuan karena tujuan juga mewakili suatu perasaan atau hasrat untuk memperbaiki kondisi yang terjadi pada saat itu.
Setelah permasalahan dikenali dan difenisikan, individu pengambil keputusan mencari alternatif-alternatif yang sekiranya dapat mengurangi kondisi negatif yang terjadi atau alternatif yang dapat membantu mencapai tujuan. Alternatif tersebut adalah akitivitas-aktivitas yang diperkirakan individu yang bersangkutan akan mengarahkannya pada keadaan yang lebih baik. Ketika individu yang bersangkutan tersebut menggenerasikan alternatif-alternatif, ia membuat asumsi-asumsi dan prediksi-prediksi mengenai hasil yang akan dihasilkan oleh alternatif-alternatif tersebut. Untuk memilih alternatif yang terbaik, individu yang bersangkutan harus menggunakan kriteria untuk mengevaluasi alternatif tersebut. Kriteria yang digunakan untuk menilai alternatif tersebut biasanya berbeda antara individu yang satu dengan yang lain dan biasanya kriteria yang digunakan tersebut tidak senantiasa jelas. Pada tahap inilah unsur subjektivitas turut berperan seperti persepsi, sikap dan nilai. Setelah dievaluasi dan diseleksi kemudian individu pengmbil keputusan membuat keputusan dan mengimplementasikan alternatif pilihannya tersebut. Proses yang dikemukakan di atas merupakan model umum pengambilan keputusan atau pemecahan masalah menurut Tosi, Rizzo dan Caroll (1990).
Pada seleksi, keputusan mulai dibuat ketika seorang penyeleksi telah mendapatkan informasi atau data-data mengenai diri pemelamar pekerjaan. Informasi atau data-data tersebut diperoleh dari setiap tahap seleksi yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan yang membuka lowongan. Menurut Mondy dan Noe III (1993)
3. Cognitive Style (Gaya Kognitif)
Cognitive style atau "gaya kognitif" adalah istilah yang digunakan dalam psikologi kognitif untuk menjelaskan cara berpikir individu, memahami dan mengingat informasi, atau pendekatan lebih suka menggunakan informasi tersebut untuk memecahkan masalah. Gaya kognitif berbeda dari kemampuan kognitif (atau tingkat), yang terakhir ini diukur dengan tes bakat atau yang disebut tes kecerdasan. Kontroversi ada di atas makna yang tepat dari istilah gaya kognitif dan juga mengenai apakah itu adalah satu atau beberapa dimensi kepribadian manusia. Bagaimanapun, ini tetap konsep kunci dalam bidang pendidikan dan manajemen. Jika seorang murid memiliki gaya kognitif serupa ke / gurunya, kemungkinan bahwa murid akan memiliki pengalaman belajar yang lebih positif dikatakan ditingkatkan. Demikian pula, anggota tim dengan gaya kognitif serupa mungkin akan merasa lebih positif tentang partisipasi mereka dalam tim. Sementara pencocokan gaya kognitif mungkin membuat peserta merasa lebih nyaman ketika bekerja dengan satu sama lain, ini saja tidak dapat menjamin keberhasilan dari hasil. Beberapa gagasan yang ada dan mengukur gaya kognitif sekarang dibahas.
a. Model Multi-dimensional dan Pengukurannya
Sebuah alat multi-dimensi yang populer untuk mengukur gaya kognitif adalah Myers-Briggs Type Indicator atau MBTI. Belakangan ini, para sarjana telah mempertanyakan mengenai membangun validitas beberapa timbangan yang terkait dengan instrumen ini.
Riding mengembangkan dua dimensi instrumen gaya kognitif, dengan Cognitive Style Analysis (CSA), yang merupakan sebuah komputer kompilasi disajikan tes yang mengukur posisi individual pada dua dimensi ortogonal - Wholist-Analytic (W-A) and Verbal-Imagery (V-I). Dimensi WA mencerminkan bagaimana individu mengatur dan menstruktur informasi. Individual digambarkan sebagai Analytics akan mendekonstruksi informasi menjadi bagian-bagian, dimana individu digambarkan sebagai Wholists yang akan mempertahankan sebuah informasi secara global atau keseluruhan. Dimensi V-I menggambarkan 'modus individual dari informasi yang mewakili memory selama berpikir - Verbalisers mewakili informasi kata-kata atau asosiasi verbal, dan Imagers mewakili informasi gambaran mental. Tes CSA dipecah menjadi tiga sub-tes, yang semuanya didasarkan pada perbandingan antara respon kali untuk berbagai jenis item rangsangan. Beberapa sarjana berpendapat bahwa instrumen ini, setidaknya sebagian bergantung pada kemampuan responden untuk menjawab dengan kecepatan tinggi, benar-benar mengukur sebuah campuran gaya kognitif dan kemampuan kognitif. Ini dikatakan untuk berkontribusi pada instrumen yang tidak dapat diandalkan ini.
b. Model Satu Dimensi, Bipolar dan Pengukurannya
Model field dependence-independence, yang diciptakan oleh H. Witkin, mengidentifikasi sebuah tanggapan individual saat membedakan perilaku objek dari bidang konten yang mereka ditetapkan. Dua instrumen serupa untuk melakukan ini telah diproduksi, Embedded Figures Test (TDE) dan Grup Embedded Figures Test (GEFT) (1971). Dalam kedua kasus, isi field adalah sebuah latar belakang yang mengganggu atau membingungkan. Instrumen ini dirancang untuk membedakan field-independent dari tipe kognitif field-dependent; sebuah rating yang diklaim sebagai nilai-netral. Orang-orang field-independent cenderung lebih otonom dalam hal restrukturisasi pengembangan keterampilan, yaitu keterampilan yang diperlukan selama tugas-tugas teknis dengan mana individu tidak selalu akrab. Bagaimanapun mereka kurang mandiri dalam pengembangan keterampilan interpersonal. EFT dan GEFT terus menikmati dukungan dan penggunaan dalam penelitian dan praktek. Namun, mereka juga dikritik oleh para ahli sebagai pengandung sebuah elemen kemampuan dan sehingga mungkin tidak mengukur gaya kognitif saja.
Hudson mengidentifikasi dua gaya kognitif: pemikir konvergen, baik dalam mengumpulkan bahan dari berbagai sumber yang relevan dengan solusi masalah, dan pemikir divergen yang berjalan lebih kreatif dan subjektif dalam pendekatan mereka terhadap masalah-masalah. Hudson's converger-diverger membangun upaya untuk mengukur pengolahan daripada perolehan informasi oleh seorang individu. Ini bertujuan untuk membedakan konvergen dari pemikir divergen; mantan menjadi orang-orang yang berpikir rasional dan logis sedangkan yang terakhir cenderung lebih fleksibel dan lebih mendasarkan pada penalaran bukti heuristic.
Sebaliknya, teori kompleksitas kognitif ([1]) sebagaimana diusulkan oleh Beiri, berusaha untuk mengidentifikasi individu-individu yang lebih kompleks dalam pendekatan mereka untuk memecahkan masalah terhadap orang-orang yang sederhana. Alat yang digunakan untuk mengukur konsep 'gaya kognitif' ini yaitu Driver’s Decision Style Exercise (DDSE) atau Complexity Self-Test Description Instrument, yang agak ad hoc dan begitu juga sedikit digunakan saat ini.
Pask meperpanjang pengertian ini dalam sebuah diskusi tentang strategi dan gaya belajar. Dalam hal ini, ia mengklasifikasikan strategi belajar baik sebagai holistik atau serialist. Ketika dihadapkan dengan jenis masalah asing, holists mengumpulkan informasi secara acak dalam suatu kerangka, sementara pendekatan masalah serialists dengan langkah pemecahan bijaksana, melanjutkan dari yang dikenal ke yang tidak diketahui.
Konsep Ornstein's hemispherical lateralisation, yang lazim disebut teori left-brain/right-brain, berpendapat bahwa belahan kiri otak mengendalikan operasi logis dan analitis, sedangkan belahan otak kanan kontrol holistik, intuitif dan kegiatan bergambar. Gaya kognitif diklaim menjadi satu dimensi pada skala dari otak ekstrim kiri ke jenis-jenis otak ekstrim kanan, tergantung pada perilaku terkait yang mendominasi dalam individu, dan seberapa banyak.
Taggart’s (1988) ‘Whole-brain human information processing theory’ mengklasifikasikan otak memiliki enam divisi, tiga per belahan otak, yang dalam arti adalah sebuah model halus teori hemispherical lateralisation yang dibahas di atas.
Allinson-Hayes The Cognitive Style Index (CSI) memiliki fitur teori Ornstein’s left-brain / right-brain. CSI berisi 38 item, masing-masing diberi nilai dengan menggunakan skala 3-point (benar; pasti; palsu). Beberapa ahli telah mempertanyakan validitas CSI yang membangun atas dasar teoretis dan metodologis keterbatasan yang terkait dengan pembangunan. Hal ini juga dicatat bahwa ukuran gaya kognitif ini baik gender yang sensitif dan budaya yang sensitif. Sementara itu sepenuhnya masuk akal bahwa gaya kognitif berhubungan dengan faktor-faktor sosial ini, hal ini menyulitkan beberapa pendidikan dan isu-isu manajemen. Ini menunjukkan, misalnya, bahwa seorang siswa yang diberikan sebaiknya diajarkan oleh orang dari jenis kelamin atau budaya tertentu, atau bahwa hanya orang-orang dari budaya tertentu dapat bekerja secara harmonis bersama-sama dalam tim.
c. Model dan Instrumen yang Telah Terbukti dalam Pengukuran Gaya Kognitif untuk Menentukan Level Kognitif
Salah satu model yang paling populer adalah gaya kognitif dirancang oleh Kirton. Modelnya, yang disebut Adaption-Innovation theory, menyatakan bahwa sebuah pendekatan pilihan individu pada pemecahan masalah, dapat ditempatkan pada sebuah kontinum mulai dari adaptasi tinggi ke inovasi tinggi. Dia menunjukkan bahwa beberapa manusia, yang disebut adaptor cenderung lebih menyukai pendekatan adaptif untuk memecahkan masalah, sementara yang lain (inovator), tentu saja, lebih suka sebaliknya. Adaptor menggunakan apa yang diberikan untuk memecahkan masalah dengan teknik time-honored. Atau, inovator melihat melampaui apa yang diberikan untuk memecahkan masalah dengan bantuan teknologi yang inovatif. Kirton menunjukkan bahwa sementara adaptor lebih suka melakukannya dengan baik dalam suatu paradigma, inovator lebih suka melakukan cara yang berbeda, sehingga berusaha untuk mengatasi paradigma yang ada.
Kirton juga menemukan sebuah alat untuk mengukur gaya kognitif (paling tidak, sesuai dengan model ini) yang dikenal sebagai Kirton Adaption-innovation Inventory (KAI). Ini memerlukan responden untuk menilai diri terhadap tiga puluh dua ciri-ciri kepribadian. Sebuah Kelemahan dari semua upaya lain untuk mengukur gaya kognitif yang dibahas di atas adalah kegagalan mereka untuk memisahkan gaya kognitif dan tingkat kognitif. Seperti item pada KAI dinyatakan dalam bahasa yang jelas dan sederhana tingkat kognitif tidak memainkan peranan penting. Skor kontinum dari A-I terdistribusi normal antara gaya kognitif ekstrem dari inovasi tinggi dan adaptasi tinggi.
Konsep penting lain yang terkait dengan teori AI adalah menjembatani dalam tim. Kirton (2003) mendefinisikan menjembatani sebagai "menjangkau orang-orang dalam tim dan membantu mereka menjadi bagian dari itu agar mereka dapat berkontribusi bahkan jika kontribusi mereka berada di luar arus-utama". Bridging dengan demikian yaitu sebuah tugas dan sebuah peran, yang harus dipelajari. Itu bukan gaya kognitif. Bridging juga tidak memimpin, walaupun pemimpin terlatih dapat menggunakan orang-orang yang mereka kenal sebagai bridgers baik untuk menjaga kohesi kelompok. Kelompok kohesi berarti, untuk menjaga kelompok sadar akan pentingnya para anggotanya bekerja sama dengan baik. Kirton (2003) menunjukkan bahwa lebih mudah bagi seseorang untuk belajar dan mengambil peran bridging jika gaya kognitif mereka adalah satu perantara. Jika orang B mengasumsikan sebuah peran yang bridging yang membantu orang A dan C untuk bekerja sama dengan baik dalam tim, maka nilai B's KAI dianjurkan untuk menjadi antara orang yang A dan C. Tentu saja, hanya disarankan agar nilai B terletak di antara nilai A dan C, bukan bahwa nilai B terletak di dekat KAI berarti. Semua dari A, B dan C bisa menjadi inovator skor tinggi atau, dalam hal ini, adaptor skor tinggi.
Teori KAI telah ditantang oleh beberapa sarjana. Paine berpendapat bahwa tingkat conflates dan gaya KAI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar